Selasa, 23 April 2013

SAATNYA PERUBAHAN GENERASI MUDA !!!


L
 ima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

            “Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

-- Digubah dari tulisan Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI) --

Rabu, 23 Januari 2013

AKU MASIH SANGAT HAFAL NYANYIAN ITU


Aku masih sangat hafal nyanyian itu
Nyanyian kesayangan dan hafalan kita bersama sejak kita disekolah rakyat
Kita berebut lebih dulu menyanyikannya
ketika anak-anak disuruh menyanyi di depan kelas satu persatu

Aku masih ingat betapa kita gembira
Saat guru kita mengajak menyanyikan lagu itu bersama-sama
Sudah lama sekali
Pergaulan tidak seakrab dulu
Masing-masing sudah terseret kepentingan sendiri
Atau tersihir pesona dunia

Dan kau kini entah dimana
Tapi aku masih sangat hafal nyanyian itu saying
Hari ini ingin sekali aku menyanyiaknnya bersamamu

Indonesia tanah air beta
Pusak abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Slalu di puja-puja bangsa

Disana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata 

Aku merindukan rasa haru dan iba
Ditengah kobaran kebencian dan dendam serta maraknya rasa tega
Hingga kini…
Ada saja yang mengubah lirik lagu kesayangan kita itu
Dan menyanyikannya  dengan nada sendu

Indonesia air mata kita
Bahagia menjadi nestapa
Indonesia kini tiba-tiba
Slalu di hina-hina bangsa

Disana banyak orang lupa
Dibuai kepentingan dunia
Tempat bertarung berrebut kuasa
Sampai entah kapan akhirnya 

Sayang…
Dimanakah kini kau
Mungkinkah kita bisa bernyanyi bersama lagi
Lagu kesayangan kita itu
Dengan akrab seperti dulu
(GusMus)

NEGERI HAHA - HIHI

Bukan karena banyaknya group Lawak
Maka negeriku selalu kocak
Justru group-group lawak hanya mengganggu dan banyak yang bikin muak
Negeriku lucu dan para pemimpin-pemimpinnya suka mengocok perut

Banyak yang terus pamer kebodohan dengan keangkuhan yang menggelikan
Banyak yang terus pamer keberanian dengan kebodohan yang mengharukan
Banyak yang terus pamer kekerdilan dengan teriakan yang memilukan
Banyak yang terus pamer kepengecutan dengan lagak yang memuakkan
Hahaha…

Penegak keadilan jalannya miring
Penuntut keadilan kepalanya pusing
Hakim main mata dengan maling
Wakil Rakyat baunya pesing
Hihihi…

Kalian jual janji-janji untuk menebus kepentingan sendiri
Kalian hafal pepatah-petitih untuk mengelabui mereka yang tertindih
Pepatah-petitih!!!
Haha..

Anjing menggonggong kafilah berlalu
Sambil menggonggong kalian terus berlalu
Hahaha…

Ada udang di balik batu
Udang kepalanya batu
Hahaha…

Sekali dayung dua pulau terlampaui
Sekali untung dua pulau terbeli
Hahaha…

Gajah mati meninggalkan gading
Harimau mati meninggalkan belang
Kalian mati meninggalkan utang
Hahaha…

Hujan emas di negeri orang
Hujan batu di negeri sendiri
Lebih baik, Yuk!!! hujan-hujanan caci maki



(GusMus)

DINEGERI AMPLOP

Dinegeri amplop
Aladin menyembunyikan lampu wasiatnya, Malu!!!
Samson tersipu-sipu rambut keramatnya ditutupi topi, rapi-rapi
David covevried  dan Udini bersembunyi rendah diri
Entah andaikata nabi Musa bersedia datang membawa tongkatnya

Amplop-amplop di negeri amplop mengatur dengan teratur
Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur
Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur
Memutuskan putusan yang tak putus
Membatalkan putusan yang sudah putus

Amplop-amplop menguasai penguasa dan mengendalikan orang-orang biasa
Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan,
mencairkan dan membekukan, mengganjal dan melicinkan
Orang bicara bisa bisu
Orang mendengar bisa tuli
Orang ‘alim bisa nafsu
Orang sakti bisa mati

Dinegeri amplop
Amplop-amplop mengamplopi apa saja dan siapa saja


 (GusMus)

NEGERIKU

Mana ada negeri sesubur negeriku
Sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
Tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
Perabot-perabot orang kaya di dunia
Dan burung-burung indah piaraan mereka
Berasal dari hutanku
Ikan-ikan pilihan yang mereka santap
Bermula dari lautku
Emas dan perak
Perhiasan mereka
Digali dari tambangku
Air bersih yang mereka minum
Bersumber dari keringatku

Mana ada negeri sekaya negeriku
Majikan-majikan bangsaku memiliki puluh-puluh mancanegara
Berangkas-berangkas bank ternama dimana-mana
Menyimpan harta-hartaku
Negeriku menumbuhkan konglomerat
Dan mengikis habis kaum melarat
Rata-rata pemimpin negeriku dan handai taulannya
Terkaya di dunia

Mana ada negeri semakmur negriku
Pengangur-penganggur diberi perumahan
Gaji dan pensiun setiap bulan
Rakyat-rakyat kecil menyumbang Negara tanpa imbalan
Rampok-rampok diberi rekomendasi
Dengan kop sakti instansi
Maling-maling diberi konsesi
Tikus dan kucing dengan asyik berkorupsi

(GusMus)